Konsistensi Itu Bukan Soal Keras Kepala, Tapi Soal Karakter

  • Bagikan

GemaNegeri.comDi negeri yang sedang penuh gejolak ini, di mana suara kebenaran kerap dibungkam dan kepalsuan dibungkus narasi indah, satu hal yang semakin langka namun sangat dibutuhkan adalah konsistensi. Bukan kepintaran. Bukan gelar. Bukan retorika. Tapi konsistensi. Sayangnya, kita makin sering menjumpai orang-orang yang hanya teguh pada satu hal: ketidakkonsistenannya.

Mereka yang dulu lantang menolak praktik korupsi, kini ikut makan kue haramnya. Mereka yang dulu mengatasnamakan rakyat, kini justru meninggalkan rakyat demi kursi empuk kekuasaan. Yang kemarin mengkritik pemerintah, sekarang memuji berlebihan hanya karena sudah masuk lingkar kekuasaan. Ini bukan perubahan, ini pembusukan.

Ketidakkonsistenan Bukan Perubahan, Tapi Pengkhianatan

Banyak yang berlindung di balik kata “dinamika”, seolah berpindah pendirian adalah bagian dari proses. Ya, kita memang boleh berubah. Tapi perubahan itu harus ke arah kebaikan dan tetap berpijak pada nilai. Jika hari ini membela rakyat, tapi besok menjualnya demi proyek dan jabatan, itu bukan perubahan. Itu pengkhianatan.

Ketidakkonsistenan bukan sekadar soal janji yang diingkari. Ia adalah potret dari karakter yang rapuh. Orang yang tidak konsisten, tidak akan pernah bisa diandalkan dalam perjuangan. Mereka hanya hadir saat menguntungkan, dan hilang saat dibutuhkan.

Dalam Skala Kecil dan Besar, Dampaknya Nyata

Dalam skala pribadi, ketidakkonsistenan membuat hubungan rusak, kepercayaan lenyap, dan kerja sama runtuh. Dalam skala organisasi, ini melahirkan ketidakpastian arah, membuat bawahan bingung, dan membunuh loyalitas.

Dalam skala negara, kita sudah merasakannya, dari janji-janji kampanye yang menguap, regulasi yang berubah seenaknya, hingga keputusan-keputusan politik yang membingungkan rakyat.

Orang yang tidak konsisten bisa cerdas, bisa luwes, bahkan bisa populer. Tapi tidak akan pernah memiliki satu hal yang tak bisa dibeli dengan uang: integritas.

Konsistensi Itu Tidak Mudah, Tapi Sangat Mungkin

Menjadi konsisten memang berat. Ia menuntut keberanian untuk tetap teguh saat sendirian. Ia meminta komitmen untuk berkata tidak saat mayoritas berkata iya. Tapi justru di situlah nilainya. Karena di tengah arus yang deras, hanya orang-orang teguh yang akan bertahan.

Kita tidak butuh banyak tokoh. Kita hanya butuh beberapa orang yang benar-benar konsisten. Yang omongannya sejalan dengan tindakannya. Yang pendiriannya tidak ditentukan oleh siapa yang sedang berkuasa, tapi oleh nurani yang sadar akan tanggung jawab moral.

Bangsa ini tidak miskin sumber daya. Tapi kita makin miskin teladan. Ketika anak-anak muda lebih akrab dengan wajah-wajah plin-plan daripada sosok berprinsip, maka jangan heran jika ketidakkonsistenan dianggap wajar.

Sudah waktunya kita berhenti memuja mereka yang hanya pintar berpindah posisi, dan mulai menghargai mereka yang konsisten di jalur perjuangan, meski sunyi.

Karena di balik kata-kata dan jabatan, hanya satu yang akan diingat orang dalam jangka panjang: apakah engkau orang yang bisa dipercaya?

 

Oleh: Aldian Syahmubara

Jurnalis KilasRiau.com

https://www.kilasriau.com/news/detail/25126/konsistensi-itu-bukan-soal-keras-kepala-tapi-soal-karakter

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *