Jangan Kau Bangga dengan Kemaksiatan

  • Bagikan
Oplus_0

GemaNegeri.com – Di zaman yang serba terbuka ini, batas antara kebenaran dan kebatilan seolah kian kabur. Media sosial memberi ruang tanpa batas, membuat siapa pun bebas menunjukkan apa saja—termasuk hal-hal yang semestinya ditutupi. Ironisnya, bukan hanya melakukan kemaksiatan, banyak orang justru bangga dan memamerkannya.

Fenomena ini kian marak: pamer gaya hidup bebas, konten vulgar, pesta pora, bahkan candaan soal dosa menjadi konsumsi harian. Tak sedikit pula yang menjadikan maksiat sebagai alat meraih popularitas. “Yang penting viral,” katanya, tanpa peduli nilai moral atau dampak sosial. Lebih menyedihkan lagi, sebagian masyarakat menanggapi itu dengan pujian, bukan peringatan.

Bangga terhadap kemaksiatan adalah bentuk kemunduran nurani. Ketika dosa dianggap hiburan, maka moralitas sedang menuju titik nadir. Hal ini bukan sekadar soal agama, tapi tentang nilai dasar kemanusiaan—rasa malu, tanggung jawab, dan kesadaran akan batasan.

Maksiat adalah pelanggaran terhadap nilai kebaikan, dan kebaikan bukan sekadar aturan agama, melainkan fondasi tatanan hidup yang sehat. Jika yang buruk dirayakan, maka generasi mendatang akan tumbuh tanpa arah, tanpa rem.

Kita tak sedang bicara tentang siapa yang paling suci. Bukan pula bermaksud menghakimi. Setiap manusia pernah khilaf. Tapi yang membedakan adalah bagaimana seseorang bersikap setelah melakukan dosa: menyesal dan memperbaiki diri, atau justru membanggakan dan mengulanginya.

Berbanggalah atas kebaikan. Jadikan pertobatan sebagai prestasi, bukan kemaksiatan sebagai pencapaian. Sebab kemuliaan tidak lahir dari sorak sorai di atas panggung dosa, melainkan dari upaya diam-diam memperbaiki diri.

Jangan kau bangga dengan kemaksiatan. Karena yang sejatinya memalukan, tak akan pernah bisa menjadi kebanggaan, seindah apa pun bungkusnya.

Kita hidup di zaman di mana batas antara hiburan dan kehinaan menjadi kabur. Namun, bukan berarti kita harus ikut arus dan melupakan nilai-nilai yang menjadi tiang kehidupan. Ada tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual yang harus dijaga, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh—baik sebagai publik figur, kreator konten, maupun pemimpin opini.

Seorang pemuda yang memamerkan gaya hidup bebas, misalnya, mungkin merasa dirinya bebas dari aturan. Tapi sadar atau tidak, ia sedang mengajak orang lain menormalisasi perilaku yang merusak. Perempuan yang menyulut sensasi dengan pakaian minim atau konten vulgar demi algoritma, mungkin merasa sedang meraih pencapaian. Padahal, nilai dirinya bukan pada seberapa banyak yang menonton, tetapi seberapa besar ia menjaga kehormatannya.

Di sisi lain, masyarakat pun memegang peran penting. Jangan lagi menyukai, membagikan, atau mendukung konten-konten yang menjual kemaksiatan. Sebab di era digital, setiap klik adalah suara. Setiap jempol ke atas adalah restu. Dan setiap tayangan yang viral, bisa mencetak pola pikir baru dalam generasi yang sedang tumbuh.

Kesadaran akan batas bukanlah bentuk keterbelakangan. Justru itulah bentuk kemajuan jiwa—mampu membedakan mana yang harus dirayakan, dan mana yang harus disesali. Masyarakat yang sehat bukan yang bebas sebebas-bebasnya, tetapi yang tahu batas dan saling menjaga.

Mari kita hentikan glorifikasi terhadap dosa. Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dengan keyakinan bahwa yang haram itu keren, bahwa yang hina itu lucu, bahwa yang salah itu biasa. Sebab dari situlah awal kerusakan dimulai—dari pembiaran dan pembenaran.

Setiap manusia pasti punya dosa. Tapi bukan dosa yang membuat seseorang hina, melainkan kebanggaan terhadap dosa itu sendiri. Maka jika kita jatuh, jangan bangga. Segeralah bangkit dan perbaiki diri.

Karena pada akhirnya, yang akan ditanya bukan seberapa banyak yang menyukai kita di dunia, tetapi seberapa jujur kita di hadapan Tuhan.

 

Oleh: Aldian Syahmubara

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *