Diceraikan Lewat WhatsApp: Potret Luka Seorang Istri Siri, Di Tengah Kuasa Seorang Kades

  • Bagikan

MUARA TEBO (GemaNegeri.com) – Di balik megahnya jabatan Kepala Desa, tersimpan kisah pilu seorang perempuan yang merasa hidupnya dihancurkan oleh lelaki yang pernah bersumpah di hadapan ibunya untuk tidak menelantarkan anaknya.

Namanya Jumiati (41), warga Unit 1 Rimbo Bujang, yang mengaku sebagai istri siri Kepala Desa Teluk Kayu Putih, Muslim (51). Mereka menikah secara agama pada 2 Maret 2023. Namun, satu tahun setelah pernikahan, hubungan itu perlahan berubah menjadi lingkaran penderitaan.

“Saya merasa tidak punya harga diri lagi,” ujar Jumiati lirih, matanya berkaca-kaca saat ditemui awak media pada Selasa (24/06/2025).

Ia bercerita tentang bagaimana Kades Muslim hanya datang ke kontrakannya seminggu tiga kali, dan memberikan nafkah tidak rutin. Kadang sebulan sekali, kadang tiga bulan. “Saya sering terlambat bayar kontrakan,” kenangnya.

Puncak penderitaan itu terjadi saat Muslim menyampaikan surat talak melalui pesan WhatsApp. Bukan sekali, tapi dua kali. Terakhir, pada 11 Juni 2025, sebuah pesan masuk ke gawainya: surat talak yang ditulis sederhana, tanpa saksi, tanpa pertemuan, tanpa tanggung jawab.

Kalimat dingin talak itu memutus seluruh harapan Jumiati. Yang lebih menyakitkan, alasan perceraian menurutnya hanya karena ia beberapa kali meminta talak saat bertengkar. “Katanya itu untuk efek jera. Tapi apakah istri layak dipermainkan seperti itu?” tanyanya getir.

Sebelum pernikahan, Muslim aktif mengejar Jumiati. “Telepon, video call, tiap hari,” ujar Jumiati. Namun setelah resmi menjadi istri siri, semuanya berubah. Jumiati mengaku justru dikekang. WhatsApp sering diblokir, ia tak bisa menelepon.

Bahkan, selama perpanjangan masa jabatan sebagai Kades, Muslim sempat dua bulan tidak pulang, tak memberi kabar, dan tak memberi nafkah sepeser pun. “Jabatan itu seolah jadi tameng untuk semena-mena terhadap saya,” ucap Jumiati penuh kekecewaan.

Yang lebih menyayat, Jumiati mengaku hubungannya dengan keluarga hancur karena memilih hidup bersama Muslim. Ia kehilangan dukungan, harga diri, dan kini harus menghadapi situasi ini seorang diri.

“Saya tahu pernikahan kami tidak tercatat negara, tapi kami sah secara agama. Lantas, apakah seorang pejabat publik boleh mempermainkan pernikahan seperti ini?,” katanya dengan nada bertanya, sekaligus menantang nurani siapa pun yang mendengarnya.

Jumiati berharap, Bupati Tebo tidak tinggal diam. Ia meminta sanksi tegas terhadap Kades Muslim, bahkan jika perlu, pencopotan dari jabatan. Baginya, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan, bukan menjadikan kekuasaan sebagai alasan untuk merendahkan martabat perempuan.

“Saya butuh pertolongan. Saya minta Bupati Tebo bertindak. Jangan biarkan ini jadi contoh buruk bagi masyarakat,” tegas Jumiati.

Hingga berita ini diterbitkan, awak media telah berupaya menghubungi Muslim, Kepala Desa Teluk Kayu Putih, untuk meminta konfirmasi dan hak jawab. Namun, yang bersangkutan belum memberikan keterangan apa pun.

Kasus ini menyentuh sisi paling rapuh dari relasi antara kekuasaan dan keadilan gender. Terlepas dari status pernikahan secara hukum negara, praktik-praktik yang mengarah pada penelantaran, manipulasi emosional, dan ketidakadilan patut mendapat perhatian serius, terlebih jika pelakunya adalah seorang pejabat publik.*(Adenny)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *